
Andarias Lu’ku, 53 tahun, begitu gemar mengadu ayam. Suatu kali, saya bertanya kepadanya: mengapa orang-orang di Toraja suka sekali menonton ayam bertarung sampai mati, dengan taruhan mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah?
Andarias, dengan rambutnya yang telah beruban, hanya tersenyum. Ia mengaku hal ini tidak mudah dijelaskan.
“Tak ada orang yang bisa kaya raya hanya karena uang taruhan ayam,” tegasnya. “Dan kau tak bisa mengukur perlakuan ayam pada pemiliknya hanya karena taruhan. Itu tidak bisa.”
Saya pun bertanya kembali. Apabila pemerintah daerah melarang penduduk Toraja memelihara dan menyabung ayam, akankah kemudian ada perlawanan?
“Mungkin tidak ada protes secara terang-terangan,” pendapatnya. “Tapi kegiatan macam itu akan terus ada.”
“Bapakku Begitu Memikirkan Ayam”
Andarias berkenalan dengan sabung ayam sejak usia muda. Ayahnya, Manda Datuan, kini berusia 80 tahun, tinggal di daerah La’bo dan merupakan sosok yang cukup terkenal di sekitar Toraja. Rumahnya sederhana dan tidak mentereng, dengan sebuah halaman kecil serta lantai beralaskan plastik bermotif.
Malangnya, beberapa tahun belakangan Manda Datuan jatuh sakit. Ia tidak dapat lagi duduk untuk waktu yang lama dan menderita stroke. Ketika saya menemuinya, kami hanya sempat bertatap wajah sebentar; lima menit setelah duduk di sofa, ia berdiri dan dipapah istrinya kembali ke kamar. Kini hidupnya lebih banyak dihabiskan berbaring di kasur.
Pada salah satu betis Manda Datuan terdapat bekas luka—konon disebabkan sabetan taji yang diikatkan ke kaki ayam. Pada usia tua, suaranya saat berbicara begitu lambat, dan kalimat-kalimat yang ia lontarkan sulit dipahami. Meski demikian, ia masih ingat benar ketika menunjuk jam dinding di ruang tamunya, yang memiliki latar belakang seekor ayam.

“Oh, kalau ayam mi ini, dia itu jagonya,” kenang Manda Datuan. “Tapi mau bagaimana lagi nak, bapak sudah tidak bisa apa-apa. Lihat sendiri keadaannya sekarang.”
Inilah sebabnya saya menemui Andarias, yang merupakan anak pertama dari Manda Datuan. Sejak kecil, Andarias sudah diajak ayahnya mengunjungi arena sabung ayam dan mengenal baik para petarung ayam yang termasyhur sepanjang dekade 1970. Saat ini, hanya ada dua orang petarung ayam dari zaman tersebut yang masih hidup, dan keduanya mulai sulit untuk bicara. Menemui Manda Datuan—salah satu legenda petarung ayam zaman tersebut—bak mengintip kejayaan masa lalu yang gemilang.
“Bapakku begitu memikirkan ayam. Dia tidak ada kerjaan lain. Bangun pagi lihat ayam. Sampai mau tidur di kepalanya mungkin ayam saja,” kata Andarias.
“Dulu waktu [ia] sehat, bapak saya tidak ke sawah. Ayam itu seperti hobi sekaligus pekerjaannya. Itu terus, sampai dia sakit dan tidak bisa jalan. Bahkan sekarang dia masih saja menikmati ayam,” lanjutnya. “Tapi tidak ada yang salah dengan itu. Akhirnya ketika saya punya anak dan dia suka ayam, saya tidak akan melarangnya.”
Saya bertanya pada Andarias, bagaimana perasaan melihat ayam yang mati di arena taruhan setelah dipelihara dengan tekun. Apakah ia kemudian bersedih?
“Kenapa harus sedih? Itu hanya permainan. Kalau kalah ya kalah saja. Hari ini menang, mungkin besok kalah. Begitu saja. Kalau menang, [ya] senang,” jelasnya.

Untuk menyaksikannya sendiri, saya mengunjungi puluhan pertarungan ayam di Toraja. Di tengah-tengah kerumunan orang yang bersorak, saya menyaksikan para petarung ayam tersebut—ekspresi mereka yang menang, hingga raut wajah mereka yang kalah. Keduanya nyaris tidak tampak memiliki rasa permusuhan, bahkan justru bercanda dengan satu sama lainnya.
Di wilayah Randan Batu, saya sempat berkenalan dengan seseorang yang baru saja kalah bertaruh dan kehilangan Rp20 juta. Ia menjelaskan pada saya memang demikianlah permainan sabung ayam: tidak perlu merasa sedih, murung, ataupun marah. Sementara itu, laki-laki yang baru mengalahkannya duduk di dekatnya. Mereka saling berbagi tawa, sambil sesekali mengoper korek api untuk membakar rokok.
Setelah beberapa hari menyaksikan pertarungan ayam, saya menemui sebuah perasaan ganjil. Meski dalam arena terjadi kekerasan hebat—yang tak jarang berakibat pada kematian sang ayam—suasana yang melingkupi sebuah pertarungan lebih mirip sebuah pesta. Banyak orang mendirikan lapak untuk menjual ikan, soda, bir, serta makanan ringan. Perhelatan sabung ayam yang besar biasanya akan dimulai di pagi hari dan baru berakhir menjelang matahari terbenam. Pertarungan “skala kecil”, sebaliknya, akan berlangsung lebih singkat, atau hanya setengah hari. Sabung ayam yang dimulai dari pagi hingga tengah hari disebut “SELAMAT PAGI”, sementara pertarungan yang dihelat dari siang hingga sore disebut “SELAMAT SORE.”
Menemui para penggemar sabung ayam di Toraja selama dua pekan, saya merasa seperti menyaksikan ikatan sosial yang begitu magis. Atto, seorang penggemar sabung ayam berusia 25 tahun, menekankan betapa pentingnya permainan tersebut bagi mereka: “Kau tak akan mengerti kenapa ayam begitu disenangi [masyarakat Toraja] sebelum benar-benar menjadi bagian dari kami.”
Makhluk Langit
Palimmi, berusia 71 tahun, adalah sosok yang ramah. Ia beragama Kristen, tapi masih menjalankan beberapa praktik yang didasari kepercayaan leluhurnya. Di halaman rumahnya terdapat beberapa kandang ayam; ia memelihara ayam-ayam tersebut untuk keperluan ritual dan kebutuhan pangan sehari-hari.
Meski Palimmi tidak pernah membawa ayamnya sendiri untuk ditarungkan, ia kadang-kadang masih menghadiri gelaran sabung ayam. Saya sempat menyinggung kepadanya bahwa Gereja Kristen—yang merupakan agama mayoritas di Toraja—turut menentang kegiatan adu ayam.
“Benar. Tapi [untuk melarangnya] pasti akan sulit. Dalam beberapa ritual seperti upacara kematian, tarung ayam memang diadakan,” jelasnya.
Mereka yang menggemari sabung ayam umumnya akan saling berkabar melalui telepon dan berjanji untuk bertemu di tempat-tempat sepi; pertandingan baru dimulai ketika orang-orang telah berkumpul. Di daerah Tandung, dua pertarungan yang akan dihelat sempat tertunda karena ketidakjelasan identitas seorang pendatang baru—saya.
Mereka punya alasan baik untuk waspada: beberapa bulan sebelumnya, polisi baru saja menggerebek gelaran sabung ayam—sebuah insiden yang menewaskan satu orang. Sambil berbisik, beberapa orang memberitahu saya bahwa kejadian tersebut dimulai dengan pertengkaran fisik.
“Kamu bukan mata-mata, kan?” tanya salah satu dari orang yang berkumpul.

Di banyak daerah Sulawesi Selatan, sabung ayam merupakan permainan yang sangat tua. Sabung ayam bahkan muncul dalam kitab I La Galigo—yang dikenal pula sebagai Sureq Galigo—sebagai sebuah mitologi penciptaan. Pada 2011, manuskrip La Galigo dinobatkan menjadi karya sastra warisan dunia “Memory of the World” oleh UNESCO.
Dalam epos tersebut, dikisahkan seorang pendekar bernama Sawerigading dari Luwu yang mencari putri We Cudai di kerajaan Cina. Untuk memasuki istana, Sawerigading harus memenangkan sebuah pertarungan sabung ayam terlebih dahulu. Ia kemudian dibantu oleh para dewa yang mengubah seekor kucing menjadi seekor ayam dan memenangkan pertarungan tersebut. Kemenangan ini membuat Sawerigading terkenal dan memungkinkannya bertemu sang putri. Mereka pun menikah, dan memiliki seorang anak yang dinamai I La Galigo—nama kitab tersebut.
Namun, Sureq Galigo merupakan naskah dalam bahasa Bugis kuno, yang diyakini berasal dari wilayah Luwu dan menyebar ke komunitas berbahasa Bugis lainnya. Etnis lainnya—seperti Makassar, Mandar dan Toraja—memiliki mitos mereka tersendiri.
Bagi orang Toraja, penciptaan dilakukan di langit oleh dewa tertinggi yang dikenal dengan nama Puang Matua. Puang Matua-lah yang menciptakan delapan elemen kehidupan—manusia, kerbau, ayam, besi, kapas, hujan, angin, dan beras—dari emas murni.
Konon, sang manusia pertama, Bura Langi, diturunkan oleh Puang Matua ke bumi dengan tujuh elemen lainnya beserta aturan-aturan, aluk, yang harus ditaati. Bura Langi kemudian menikahi Bura Tana; generasi penerus mereka, Tandi Lino, membangun rumah Tongkonan tradisional Toraja pertama dengan atapnya yang berbentuk pisang. Saat itu, hidup begitu nyaman karena Bura Langi turut membawa ayam, kerbau, dan padi ke bumi.
“Jadi kebutuhan sudah terpenuhi. Hidup makmur. Ada makanan dari padi, ayam dan kerbau. Serta besi untuk peralatan,” kisah Palimmi.

Tandi Lino juga diyakini menempatkan ayam sebagai hewan dengan peringkat tertinggi pada ukiran rumah. Umumnya, terdapat dua jenis ayam yang diukir pada rumah-rumah tradisional. Ayam Sella, yang digunakan untuk ritual-ritual kematian, ditempatkan di sisi barat rumah. Sementara ayam Koro, yang merupakan simbol kehidupan, diletakkan di sisi timur. Selain itu, terdapat pula dekorasi yang dikenal sebagai Katik pada bagian depan rumah dan di sisi lumbung. Dekorasi Katik menampilkan Arae, hewan mitologis dengan kepala ayam dan tubuh ular, yang dikenal sebagai raja semua ayam.
Orang-orang Toraja juga percaya bahwa ayam memberi mereka pemahaman akan waktu. Alur hidup terwujud dalam kokok ayam jantan yang dimulai pukul sebelas malam. Kokok kedua terjadi pada pukul satu pagi, dilanjutkan dengan kokok tiap jam setelahnya hingga pukul lima. “Jadi ketika ayam berbunyi untuk keempat kalinya dan tidak berhenti, maka itu sudah waktunya kami bangun. Bersiap dan bekerja,” terang Palimmi.
“Hari ini orang hanya melihat ayam sebagai aduan. Tidak kecil [sederhana] begitu. Di Toraja, kami mengenal ayam sebagai hewan yang memberi kami makanan dan sebagai hewan ritual,” lanjutnya. “Posisi ayam begitu bergengsi di Toraja. Mereka adalah persembahan orang-orang yang paling miskin, namun juga dianggap membawa kesempurnaan tertinggi pada sebuah ritual.”
Ayam untuk Semua Acara
Bagi orang Toraja, setiap ayam memiliki fungsi yang berbeda berdasarkan warna bulu mereka. Ayam berwarna hitam, misalnya, digunakan untuk keperluan ritual arwah; ayam Sella dengan bulu merah diperuntukkan sebagai persembahan untuk dewa-dewa dan roh; sementara ayam Koro yang memiliki bulu hitam, putih, dan sedikit kebiruan berperan menandai saat-saat penting dalam waktu. Ada pula ayam Buritik, dengan campuran warna hitam-putih, yang dikorbankan pada pohon-pohon aren untuk menghasilkan tuak berkualitas baik. Ayam Burik—yang memiliki bulu putih, hitam, dan merah—digunakan untuk menyelesaikan perselisihan. Sementara ayam Barumbun yang berwarna merah tua dan hitam lazim digunakan pada ritual-ritual untuk menyembuhkan orang sakit.
Bahkan setiap bagian dari ayam memiliki kegunaannya masing-masing. Upacara Ma’pallin—yang dilakukan untuk meminta maaf dan menebus kesalahan masa lalu sebelum pindah ke rumah baru—dilakukan dengan mengorbankan seekor ayam hitam. Sang pendeta, atau To Minaa, akan mengambil ayam tersebut dan memotongnya kecil-kecil. Sambil berbicara dalam bahasa Toraja tinggi, ia akan menghadap ke barat dan mempersembahkan kepala ayam untuk Puang Matua, sang dewa tertinggi. Hati ayam kemudian dipersembahkan untuk aturan kepercayaan (aluk); kaki dan sayap untuk To Pangala Tondok, atau para pemberani; sedangkan bagian lainnya diberikan pada To Padatinto, pahlawan Toraja.

Apabila ayam memiliki fungsi yang begitu penting dalam kepercayaan masyarakat Toraja, mengapa masih saja ada yang mengadakan sabung ayam? Hal ini—seperti banyak ritual lainnya—berakar pada sejumlah tradisi lama.
Ketika seorang bangsawan Toraja meninggal dunia, keluarganya akan menggelar ritual kematian lengkap. Puluhan—kalau tidak ratusan—babi dan kerbau dikorbankan untuk menunjukkan nilai kekayaan. Meski demikian, seekor ayam selalu menjadi persembahan pertama yang memulai seluruh proses ritual.
Pada hari upacara kematian, para keluarga juga akan menggelar Paramisi, yakni prosesi yang terdiri dari tiga ronde sabung ayam untuk menghibur arwah yang berpulang serta keluarga yang ditinggalkan. Tarung ayam dalam ritual kematian ini disebut Sembangan Suke Baratu. Ayam-ayam akan beradu dipersenjatai dengan taji, sementara para pelayat memasukkan uang ke batang bambu (suke) terlepas dari ayam mereka menang ataupun kalah. Setelah semua pertarungan usai, uang yang terkumpul diberikan kepada keluarga yang berduka.
“Jadi sebenarnya itu uang duka, tapi sekarang sudah mulai hampir tidak ada yang melakukan. Banyak orang yang malu dianggap miskin,” kata Palimmi.
Selain itu, orang Toraja juga mengenal tarung ayam bernama Silondongan, atau Bulu Londong, yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik. Pihak-pihak yang berseteru akan memilih ayam mereka sendiri sebagai perwakilan dalam duel. Kedua ayam tersebut kemudian akan berkelahi tanpa menggunakan taji sampai salah satunya kalah dan lari; pihak dengan ayam yang kalah dinyatakan oleh pemimpin adat sebagai pihak yang kalah pula dalam sengketa.
Ketika Ayam Lokal Kehilangan Tajinya
Pasar Bolu, yang berjarak 10 menit menggunakan sepeda motor dari pusat kabupaten Toraja Utara, merupakan jantung perdagangan hewan lokal. Sementara babi dan kerbau hidup dijual sepanjang waktu, ayam hanya diperdagangkan dua kali seminggu—tiap hari Selasa dan Sabtu.
Seorang anak muda dengan nama panggilan Bush menemani saya ke pasar Bolu. Di sana, kami melihat sekitar seratus orang duduk berpencar, masing-masing memegang seekor ayam untuk dijual dengan harga yang tak bisa ditawar-tawar.
Meski gemar menyabung, Bush tidak memelihara ayamnya sendiri—yang sesungguhnya bukan hal mudah karena harus dilakukan dengan cermat. Sebaliknya, Bush menitipkan ayam yang ia beli untuk dipiara orang lain; ketika menang pertarungan, uang yang ia peroleh akan dibagi dua dengan pihak yang merawat ayam.
Sambil berjalan, mata Bush dengan cermat memperhatikan ayam-ayam yang dijual. Apabila ada yang menarik, ia akan mengangkatnya untuk mengamati dari dekat. Setelah mantap dengan kondisi fisik seekor ayam, Bush akan mengujinya untuk berkelahi dengan ayam lain.
“Saya lebih suka lihat pukulan [sabetan dengan kaki] ayam. Kalau pukulannya oke, saya ambil,” tukasnya.

Bush, seperti anak muda lain pada generasinya, tidak ambil pusing pada setiap detil ayam—atau dalam kata-katanya sendiri, “Yang penting ayamnya jago berkelahi.” Ini merupakan sikap yang berbeda dengan petarung sabung ayam di masa lalu, dimana tiap lekuk, warna bulu, sisik, hingga berbagai keganjilan lainnya dalam tubuh seekor ayam dianggap penting. Sebagai contoh, ayam yang menutup matanya seperti hendak tidur ketika digendong menuju arena pertarungan adalah ayam yang bernasib kalah.
Generasi Andarias percaya akan keturunan-keturunan ayam pemenang yang dikenal dengan bija. Umumnya, setiap kampung memiliki bija mereka masing-masing. Orang daerah Mangundapak, misalnya, mengenal ayam pemenang mereka sebagai Bijanna Mangundapak. Untuk memperoleh status ini, seekor ayam jantan akan berdiri di atas sebuah batu yang dianggap sakral dan berkokok nyaring— itulah tanda seekor ayam pemenang.
Menurut tradisi lisan lainnya, bija merupakan ayam yang dikawini oleh makhluk mitologis arae, sang raja ayam. Konon, sang bija tidak akan kabur ketika dihampiri arae karena menyangkanya sebagai ayam jantan. Banyak orang meyakini bahwa ayam-ayam keturunan arae tidak akan pernah kalah dalam bertarung.
“Kami percaya arae itu ada. Ada banyak orang yang pernah melihatnya, walaupun saya sendiri belum pernah. Tapi itu jelas ada. Karena kalau tidak bagaimana mungkin leluhur dulu menggambarkannya dalam seni ukir?” pendapat Andarias.
Pandangan orang Toraja terhadap ayam lokal memang tidak lepas dari mitologi, dan kepercayaan ini membuat mereka membesarkan ayam dengan tekun. Ketika pemiliknya bepergian, seekor ayam kadang ditaruh dalam sarung untuk ikut jalan-jalan. Ayam-ayam pun sering dipijat oleh pemiliknya, yang merawat peliharaan mereka seolah-olah anak sendiri.

Meski demikian, kini kepatuhan dan kepercayaan terhadap mitologi maupun tradisi seputar ayam mulai memudar. Anak muda justru percaya bahwa ayam yang dipijat terus-menerus akan menjadi penakut, lemah, dan tidak fleksibel. Muncul pula gagasan bahwa ayam lokal sebenarnya tidak sekuat itu bertarung: ketika seekor ayam terluka oleh taji, mereka hampir pasti menarik kaki ke belakang atau lari keluar arena. “Itu yang membuat ayam lokal hampir pasti kalah kalau sudah luka,” pendapat Rudi Maskur, seorang penggemar tarung ayam berusia 35 tahun.
Bersama kawannya, Rudi membentuk KOMPAS—Komunitas Pecinta Ayam Sang Torayaan. Dengan berjejaring dan membentuk grup di media sosial, anggota mereka kini mencapai ribuan orang. Orang-orang yang bergabung dalam komunitas ini saling berbagi pengetahuan di ranah daring, dari urusan pembiakan hingga cara melatih otot ayam.
Namun, sebagian besar anggota grup KOMPAS tidak memelihara ayam lokal lagi. Sebaliknya, mereka memelihara ayam-ayam dari Filipina dan Peru yang dikirimkan melalui pesawat maupun kapal laut—menempuh jalur dari Filipina menuju Manado, Makassar, sebelum akhirnya tiba di Toraja. Ayam yang siap tarung dijual dengan harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Yosia Rerung, 30 tahun, juga memelihara ayam. Ia memberitahu saya bahwa ayam impor berkelahi dengan cepat, tanpa teknik, dan akan terus melawan sampai mati. “Kalau ada ayam impor yang lepas dan bertemu dengan ayam impor lain, mereka tidak akan berhenti sampai ada yang mati. Ayam saya berkelahi sampai kepalanya pecah.” terangnya. “Kalau ayam lokal masih bisa melarikan diri. Atau kalah.”

Menyaksikan ayam-ayam impor tersebut berkelahi bak menonton pertempuran penuh kekerasan. Setelah dilepaskan oleh pemiliknya, mereka saling menyerang satu sama lain. Ayam impor umumnya terbang dan mengepakkan sayapnya dengan cepat, menguji kekuatan dan ketahanan fisik mereka sendiri. Taji yang melekat pada kaki mereka—dibuat dari besi yang cukup tajam untuk merobek kulit—membuat mereka semakin berbahaya dan sanggup memotong dada, paha, bahkan kepala ayam lawan.
Gaya bertarung brutal ini begitu berbeda dengan ayam lokal, yang lebih mengandalkan perhitungan-perhitungan jitu. Saya sendiri lebih menikmati pertarungan ayam lokal, yang menurut saya lebih elegan. Ada kalanya satu ayam akan melompat, sementara ayam lain akan menunggu waktu terbaik untuk menyerang saat lawannya kembali menyentuh tanah.
Ketika ayam-ayam saling menyerang dalam arena, penonton memandang dengan takzim; kegaduhan dan suara lainnya bahkan nyaris menghilang. Apabila salah satu ayam tidak dapat berdiri lagi, mati, dan dinyatakan kalah, ia akan diangkat tinggi-tinggi ke atas. Kaki ayam yang ditempelkan taji akan dipotong hingga bagian paha untuk diserahkan kepada sang pemenang—sebuah token dari pertarungan yang telah usai.
The post Sang Jago appeared first on New Naratif.